Senin, 07 Oktober 2019


               Sejarah Hadits Prakodifikasi:                Hadis  pada priode Rasul, Sahabat, dan                                        Tabi’in

A. Budaya Tulis-Menulis Hadis pada Masa KeNabian
 Adalah sebuah fakta yang tidak dipungkiri bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta huruf. Pada fase awal keNabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang mengenal budaya tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis belum dikenal luas oleh masyarakat Medinah terkecuali sebagian kaum yahudi. Nabi sangat menyadari urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda pembelajaran dan menuai hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebegai sekertaris yang bertugas mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk beberapa sahabat untuk mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan yang mengetahui surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi. Mesjid menjadi ikon pendidikan selain berfungsi sebagai tempat peribadatan. Usaha Nabi dalam memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya dalam melepaskan setiap tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak baca-tulis. Kemudian proses pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat di pelbagai kota-kota Islam seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke pelbagai kota untuk mengajarkan ajaran Islam.

B. Argumentasi Eksistensi Hadits
Keberadaan hadis sebagai tashri’, dapatlahditelusuri melalui hujjah Alquran, argumen-tasi hadis itu sendiri, maupun ijmak sahabat yang telah berkembang dalam sejarah pertum- buhan hadis. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimunculkan sebagai basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari kebera- daan hadis. Kenapa harus mengambil dari Alquran, hadis, maupun ijmak. Alasannya, Alquran sebagai basis hukum pertama dalam runtutan hukum Islam, merupakan pijakan pertama yang harus dilihat secara jernih. Bahwa apakah dalam ribuan ayat termaktub beberapa kalimat yang melegimitasi kebera- daan hadis, atau malah terdapat beberapa ayat Alquran yang menolak keberadaan hadis. Dari hasil penelusuran, terdapat puluhan ayat Alquran yang mengisyaratkan secara jelas dan tegas akan eksistensi hadis sebagai tashri’. Demikian juga kenapa harus mengambil dari hadis. Bukankah hal itu pendekatan yang kurang objektif. Dengan pertimbangan keab- sahan hadis melalui hadis, pengakuan dari dalam relatif kurang relevan. Penjelasannya, untuk mencari apakah legitimasi hadis bertolak belakang dengan hadis itu sendiri atau tidak. Demikian halnya dengan ijmak, mengungkapkan sejauh mana para sahabat berkomitmen terhadap hadis sebagai pemutus persoalan yang terjadi sepeninggalan Rasulullah.

C. Metode Kritik Sanad
Teori Kritik Sanad
Pengertian kritik sanad hadis berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan dalam ilmu hadis adalah kritik sanad adalah suatu penyeleksian yang ditekankan dan dimaksudkan pada aspek sanadnya. Sehingga menghasilkan istilah Sahih al-isnad dan Dha’if al-isnad. Shihih al-isnad ialah seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersambungan sanad, serta terbebas dari kerancuan (syadz) dan cacat (‘illat). Sedangkan Dha’if al-isnad adalah salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dha’if atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya. Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu layak disandingi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti dha’ifal-matan. Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah seragam. Akan tetapi ada kaidah- kaidah yang disepakati oleh ulama hadis dan masih terjadi sampai sekarang.

Tafsir Hadis di Mata Orientalis
Menurut Muir, dalam bukunya The Life of Muhammad, wahyu dalam Islam tidak lain hanyalah tipuan/akal-akalan Muhammad. Pendapat ini didasarkan pada riwayat perjalanan Nabi ke negeri Syam dengan pamannya, dan perjalanan beliau ke Syam ketika mendapat pekerjaan dari Khadijah untuk berdagang. Dalam perjalanan tersebut, Nabi melihat Rahib dan Pendeta sedang beribadah dengan khusuk. Pengalaman inilah -yang pertama kali ia lihat- memberikan pengaruh sangat kuat kepada Nabi, sehingga ia berusaha dengan keras untuk menemukan agama yang benar. Dalam usaha menemukan agama yang benar itu, Nabi mengaku telah menerima wahyu dari Allah. Sebagai buktinya ia telah berhasil berdagang dengan mendapatkan untung yang banyak. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menikahi Khadijah.
Selanjutnya kajian orientalis terhadap al-Qur’an juga ternyata tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya saja sebagai wahyu dari Tuhan. Tapi lebih dari sekedar itu adalah isu klasik yang selalu bergulir soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an “theories of borrowing and influence”. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negative seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson: “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings–largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi walaupun demikian, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an.
Mengingat kajian Orientalis yang begitu luas terhadap pemikiran Islam mencakup al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi, Sejarah Islam, Kalam, Fikh dan Usul Fikh, Sufi, Perbandingan Agama, Sejarah Islam di Nusantara dan lain-lain, maka tulisan ini akan memfokuskan kepada kajian para Orientalis terhadap al-Qur’an dan hadis.

D. Islamolog, Ulama Kontemporer dan Metode Pemahaman Hadits
      Pada pembahasan ini tulisan diarahkan  untuk mengkaji bagaimana metodologi para Islamolog dan ulama Islām kontemporer dalam memahami hadīth-hadīth Rasūlullāh. Mengenai pemahaman terhadap hadīth juga diper- bincangkan secara meluas oleh beberapa sarjana orientalis dan Islamolog yang tekun mempelajari literatur Islām di mana mereka melakukan penelitian selanjutnya memberi pemahaman terhadap hadīth-hadīth Nabi di antaranya adalah Ignaz Goldziher, Wensinck, Joseph Schacht, dan lain-lain. Di mana mereka telah mengeritik metode ahli hadīth tentang cara memahami ma‟ānī al-hadīth kemudian mereka menawarkan metode baru yaitu “Metode Kritik Matn Hadīth” sebagai solusinya.

Metodologi Rasyid Rida
           Syeikh Rasyid Rida, misalnya, telah menjelaskan klasifikasi sunnah ketika ia memaparkan masalah īttiba„ atau mengikuti sunnah Nabi SAW dan kesalah pahaman yang terjadi terhadap masalah īttiba„ ini, yaitu dalam menafsirkan firman Allah surat al-A„raf ayat 158 “dan ikutilah ia supaya kamu mendapat petunjuk” dan ayat yang berbunyi: “dan ikutilah dia” yang dinilai lebih umum daripada ayat sebelumnya yang berbunyi: “dan orang-orang yang beriman yang mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur‟ān) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Menurut Rasyid Rida, maksud ayat tersebut adalah ittiba„ hanya terbatas pada mengikuti al-Qur‟ān secara khusus. Sunnah yang tidak harus diikuti adalah hal-hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan nabi. Demikian pula ketika ia menafsirkan ayat 31 surat ‟Ālī „Imrān: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah saya niscaya Allah akan mencintai kalian” bahwa apa saja yang dibawa oleh Nabi Muhammad dari sisi Allah adalah jelas karena Allah, baik perintah-perintah maupun larangan- larangan-Nya. Tanda kecintaan terhadap sesuatu adalah mengetahui sesuatu yang dicintai itu, mengetahui larangan dan perintah serta menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala bentuk larangan. Semua ini adalah sarana dan pra syarat untuk membuktikan kecintaan kepada Allah. Ittiba„ dalam ayat tersebut juga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat formal atau syar„īyyah.

E. Reorientasi Makna Sunnah
        Secara bahasa sunnah berasal dari akar kata sanna yang terdiri dari tiga huruf sin, dan dua huruf nun. Akar kata ini merujuk kepada makna “perjalanan”. Dari akar kata ini diperoleh kata sunnah yang memiliki kesesuaian makna dengan makna dasar yaitu sebagai “suatu perjalanan hidup (sirah)”. Pada perkembangan selanjutnya kata sunnah dalam terminologi syariah seringkali dibatasi pemaknaannya hanya sebagai perkataan, perbuatan, dan keputusan Nabi Muhammad. Pemaknaan inilah yang umumnya dikenal oleh para akademisi Islam saat ini. Makna sunnah yang terbatas hanya pada tiga perkara ini menghasilkan cara pandang yang sempit akan hakikat sunnah itu sendiri. Akibatnya, kesimpulan tentang bagaimana model dakwah yang ideal juga akan terbatas hanya pada tiga perkara ini saja. Pemaknaan sunnah sebagai perkataan, perbuatan, dan keputusan Nabi Muhammad sejatinya adalah pemaknaan sunnah oleh para sarjana ushul fiqh. Hal ini mengingat orientasi bidang kajian mereka adalah kesimpulan hukum Islam. Oleh karena itu mereka membatasi sumber hukum yang mereka kaji hanya pada tiga hal ini saja. Berbeda halnya dengan para sarjana hadis, mereka menyatakan bahwa sunnah adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik itu perkataan, perbuatan, keputusan, sifat perangai, ciri fisik maupun perjalanan hidup. Dapat dilihat bahwa pemaknaan sunnah oleh para sarjana hadis lebih luas jika dibandingkan pemaknaan para sarjana ushul fiqh. Pemaknaan para sarjana hadis ini memiliki kesesuaian sekaligus mencakup di dalamnya makna sunnah secara bahasa yaitu “perjalanan hidup”. Perjalanan hidup Nabi Muhammad, bagaimanapun juga, dapat dianggap sebagai personifikasi dari dakwah Islam sebab Nabi merupakan tokoh paling sentral dalam sejarah Islam itu sendiri. Dalam hal ini, sejarah Islam terkait dakwah perlu dilihat sebagai sebuah proses historis dengan kronologi yang khas di mana Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada aspek-aspek kemanusiaan melalui ajaran-ajaran Zakat, shadaqah, dan melalui perbuatan- perbuatan Nabi yang menunjukkan keberpihakannya pada kelompok minoritas dan tertindas di eranya.

F. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam
           Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia.

G. Periodesasi Hadits Memasuki Masa Penyeleksian
        Setelah Hadis selesai dikodifikasikan sejak abad ke II dibawah kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama berupaya mengembangkan studi hadits dengan pola penyeleksian hadits, sehingga pada masa abad ke III menjelang abad ke IV hijriah, mulailah bermunculan beragam kitab hadits yang begitu luar biasa, seperti kitab Shahih al-Bukhori karya Imam Bukhori, Shahih cabang-cabang hadis, seperti keadaan sanad beserta matannya. Pelopor pembaharuan dalam ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafizh al-Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643 H), beliau telah menyusun kitab yang dinilai paling mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada masa itu adalah ‘Ulum al-Hadis yang kemudian kitab ini lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah 24 kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Usaha-usaha yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat, mensyarahi dan meringkas kitab yang sudah ada sebelumnya, serta menyusun kitab Athraf. Dan pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu. Selain itu, pada masa ini juga. Sehingga masa ini mengalami kemunduran ilmu pengetahuan, serta mengalami kemujudan dalam pemikiran sebagaimana yang telah telah terjadi sejak awal abad kelima Hijriyah, dan musibah yang menimpa umat Islam ketika itu adalah pergolakan internal antar sebagian para pemimpin Islam, dimana setiap amir kota dan pelosok menyerang wilayah keamiran kecil disekitarnya.

H. Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
                                                                           Bibit berbagai kaedah dalam mengistimbathkan hukum
islam yang menjadi objek ushul fiqh telah muncul sejak zaman Rasulullah SAW., hal ini semakin berkembang ketika Rasulullah SAW. telah wafat dan persoalan hukum semakin kompleks pula, sejalan dengan meluasnya wilayah islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW tasyri' al-Ahkam terbagi menjadi dua priode, yang masing-masing priode memiliki corak tersendiri, yaitu: Dari sahabat atau tidak ada kaitanya dengan yang mereka hadapi. Dan ketiga syaria'at turun secara bertahap yang berbentuk dalam dua hal, yaitu tahapan dalam kesatuan hukum, dan tahapan pada suatu perbuatan.
1. Priode Mekah Priode pertama ialah priode mekah, yakni selama Nabi SAW. menetap dan berkedudukan di mekah, yang lamanya dua belas tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hinga beliau berhijrah ke madinah. Dalam masa itu umat islam masih sedikit dan masih sangat lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai souvereignity (kekuasaan yang kuat). Pada masa ini belum banyak fakta-fakta yang menunjukan Nabi SAW. membuat hukum atau undang-undang. Karena itu tidaklah terdapat di dalam surat makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, ar-Radu, Ya Sin, dan al-Furqan. Kebanyakan ayat-ayat makiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, ahlak, dan sejarah.
 2. Priode Madinah Periode kedua adalah priode madinah, yakni masa Nabi SAW. telah berhijrah ke madinah, dan Nabi SAW. menetap di madinah selama sepuluh tahun dari mulai hijrah sampai wafatnya. Dalam masa inilah ummat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW. membentuk suata masyarakat islam yang mempunyai souvereighty yang gilang gemilang. Karena itulah timbul keperluan untuk mengadakan syariat dan peratuan-peraturan, karena masyarakat membutuhkanya, untuk mengatur perhubungan antara angota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai maupun masa perang.

I. Problem Otentisitas Hadits
          Diskursus tentang otentisitas hadits merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kotroversial dalam studi hadits kontemporer. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya suatu asumsi bahwa hadits Nabi SAW secara normatif-teologis tidak ada garansi dari Allah SWT. Berbeda dengan al Quran yang oleh Allah SWT sendiri diberi ‘garansi’ akan keterpeliharaanya. Disamping itu problem otentisitas hadits dipandang sangat signifikan dan sangat penting, karena erat kaitannya dengan pandangan teologis mayoritas umat Islam yang menjadikan hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran pokok kedua setelah al Quran. Bahkan, ia dipandang sebagai Miftah al Quran (kunci untuk memahami al Quran), karena untuk memahami al Quran secara ‘syamil’ dibutuhkan hadits sebagai bayan, bahkan ada pendapat bahwa hadits dan sunnah Nabi SAW merupakan tafsir dari al Quran itu sendiri dan juga realisasi dari al Quran (Khairuman, 2004: 27). Orang yang meragukan hadits sebagai sumber istidlal, maka pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar mereka menerapkan al Quran sebagai ajaran dalam kehidupan sehari-hari? (Langaji, 2006, 67). Maraknya gugatan atas hadits berawal dari sejarah bahwa hadits tidak terdokumentasi secara resmi sejak awal peradaban muslim, hadits baru dibukukan secara resmi jauh setelah Nabi SAW wafat, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, sehingga untuk mengatakan hadits sebagai suatu sumber yang otentik sebagaimana al Quran perlu pengkajian yang mendalam. Sebagai konsekwensinya, muncullah para pembela hadits untuk melakukan pembelaan terhadap setiap pendapat yang mencoba meragukan atau bahkan menolak sama sekali terhadap kemungkinan hadits-hadits Nabi SAW yang benar-benar otentik dari Nabi SAW.








DARTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis Fakultas, and Ushuluddin Filsafat, ‘Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh | 63’, 6 (2015), 3
Dan, Islamolog, and Ulama Kontemporer, ‘No Title’, 14.2 (2012), 3–5
Darmalaksana, Wahyudin, Lamlam Pahala, and Endang Soetari, ‘Kontroversi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam’, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2.2 (2017), 5 <https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.1770>
Jafar, Wahyu Abdul, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, 4.01, 5–6
Karim, Abdul, and Jawa Tengah, ‘KAJIAN TAFSIR HADIS’, 7.2 (2013), 4
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), 1–10
‘METODE KRITIK SANAD DAN MATAN HADITS Oleh : Zubaidah Sekolah Tinggi Pendidikan Islam Bina Insan Yogyakarta’
Qudsy, Saifuddin Zuhri, ‘Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis’, 2
Rahman, Haidir, ‘Haidir Rahman Dakwah Pra- Kenabian…’, 6
Tinggi, Sekolah, Agama Islam, and Sunan Drajat, ‘SISTEM ISNAD DAN OTENTISITAS HADITS : Kajian Orientalis Dan Gugatan Atasnya’, 15.2, 3–4