Senin, 23 September 2019

HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADIS DAN FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR'AN


HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN DAN FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN


A.   PENDAHULUAN


Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita(khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum.Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Alquran merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Alquran membicarakanya, atau Alquran membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Alquran. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Alquran tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Alquran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Alquran.
B.   HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
          Hadits’ disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad dan 5 kali dalam bentuk jama’(Baqi, 1992: 247-248). Kata ‘hadits’ dalam al Quran maupun kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti: (a) komunikasi religius, pesan atau al-Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al Zumar ayat 23.(b)cerita duniawi atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang tercantum dalam surat al An’am ayat 68. (c) cerita sejarah, sebagaimana yang tercantum dalam surat Taha ayat 9. (d) rahasia, percakapan atau cerita yang masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3 (Azami, 1977: 1-2). Dari keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya terangkum dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadits secara literal mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication (berita atau kabar), historical information (informasi
sejarah), baik bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan dengan peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi (Goldziher, 1971).
Secara terminology, hadits mempunyai makna segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan sertasifat-sifat fisik dan suri tauladan Nabi (Sabbaq, 1972: 14-17). Dalam pengertianyang semacam ini, hadits disinonimkan dengan istilah sunnah. Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadits dapat dibedakan menjadi (a) sabda, (b) perbuatan, (c) taqrir, (d) hal ihwal Nabi, yaitu segala sifat dan keadaan beliau (al Siba’i, 1994: 53). Menurut Nuruddin ‘Itr, definisi tersebut masih dirasa kurang sempurna, karena dalam kitab-kitab hadits banyak dijumpai perkataan-perkataan yang tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in. Sehingga pengertian hadits secara terminology, yang ideal adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik, dan juga segala sesuatu yang yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in (‘Itr, 1992: 9).[1]
          Sunnah bisa berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah), kebiasaan atau ketentuan. Sunnah dalam pengertian ini bisa mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah) maupun sunnah yang buruk (sunnah qabihah).Dalam pengertian ini al-Qur’an menyebutnya dengan Sunnah al-Awwaliin, yakni sunnah yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada orang-orang terdahulu (Al-Anfal:38). Istilah sunnah juga terdapat dalam teks hadits, yang mencakup pengertian sunnah yang baik dan sunnah yang buruk, sebagaimana hadits riwayat Muslim yang mengatakan:
          Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau kebiasaan baik (sunnah hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku tersebut dan pahala orang-orang yang ikut melakukannya di kemudian hari. Sebaliknya siapa yang memperkenalkan perilaku yang buruk (sunnah sayyi’ah), ia akan memperoleh dosa perilaku tersebut dan dosa orang-orang yang melakukannya di kemudian hari tanpa ada sesuatu yang mengurangi dosa mereka.”
          Menurut Fazrur Rahman, perilaku generasi setelah Nabi adalah personifikasi dari perilaku Rasulullah SAW yang dihidupkan secara turun temurun. As-sunnah sebagai tradisi yang hidup, yang bermula dari perilaku Muhammad SAW, diikuti para sahabatnya, diikuti oleh pengikut sahabat, demikian seterusnya sehingga perilaku itu menjadi melembaga dan mendarah daging. Apabila proses internalisasi telah terjadi, institusionalisasi perilaku akan membuahkan kesepakatan sosio-kultural. Secara sosiologis, adanya kesesuaian antara sistem nilai, sistem sosial dan sistem budaya sehingga membentuk kolektifitas tingkah laku.
          Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shidieqie, sunnah adalah pengejawantahan perilaku menurut contoh Rasulullah SAW yang merujuk pada hadits. (perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga menjadi semacam tradisi ).Masyarakat Arab pra Islam menggunakan kata sunnah untuk menyebut praktik kuno dan berlaku terus menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku Arab pra-Islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari identitas dan kebanggaan mereka. Perbuatan Rasulullah SAW, merupakan perbuatan yang dibimbing oleh wahyu sehingga merupakan keteladanan, bahkan disebut sebagai uswah hasanah . Manakala perbuatan tersebut ditiru oleh para sahabat, para sahabat ditiru oleh para tabi’in, para tabi’in ditiru oleh para pengikutnya, dan seterusnya hingga umat Muhammad SAW sekarang ini, keteladanan tersebut menjadi tradisi normatif yang membentuk menjadi sistem sosial, maka hal itulah yang paling fundamental dalam memaknakan sunnah sebagai keteladanan yang berawal dari perilaku Rasulullah SAW.Sedangkan hadits secara harfiah berarti baru, cerita, kisah, perkataan atau peristiwa. Istilah ini mempunyai definisi yang baku. Menurut para ahli hadits, kata ini menunjuk pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan, perbuatan, taqrir (sesuatu yang dibiarkan, dipersilakan dan disetujui secara diam-diam), sifat-sifat dan perilaku yang terjadi sebelum ia menjadi Nabi atau sesudahnya. Sementara menurut para ahli ushul fiqh, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang dapat menjadi hukum syara’.[2]   
          Berdasarkan petunjuk Alquran, Sunnah Nabi saw. adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran. Itu berarti, untuk mengetahui ajaran Islam yang benar, selain diperlukan petunjuk Alquran, juga diperlukan petunjuk Sunnah Nabi saw.Sebagian ulama memberi istilah untuk Hadis Nabi saw dengan wahyu al-gair al-matlu, sebagai imbangan terhadap istilah untuk Alquran yang disebutnya dengan wahyu al-matlu. Pendapat itu memang mengundang masalah, sebab dengan menyatakan bahwa seluruh Hadis Nabi sebagai wahyu, maka berarti semua jenis Hadis atau apa saja yang disandarkan kepada Nabi, sebagaimana pengertian sunnah menurut ulama Hadis, adalah wahyu. Jika demikian, apakah tertawa dan warna rambut Nabi adalah wahyu juga? Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa ulama usul fiqh memberi batasan yang disebut sunnah Nabi adalah segala pernyataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang berkaitan dengan hokum (syara). Apabila pengertian istilah tersebut dihadapkan dengan pernyataan bahwa sunnah Nabi adalah wahyu gair al-matlu, maka apakah ijtihad Nabi yang dikoreksi oleh Alquran termasuk juga wahyu?
          Terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu gair al-matlu, maka yang pasti bahwa Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah yang berfungsi atau tugas antara lain untuk (1) menjelaskan Alquran, (2) dipatuhi oleh orang-orang yang beriman; (3) menjadi uswah hasanahdan rahmat bagi sekalian alam. Dalam pada itu, beliau adalah juga manusia biasa, seorang suami, ayah, anggota keluarga, teman, pengajar, pendidik, mubalig, dan seorang kepala negara. Selain itu, ada pula hal-hal khusus yang oleh Allah swt hanya diperuntukkan bagi Nabi sendiri dan tidak untuk umatnya, misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri.[3]

C. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADIS
          Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
          Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata :
          Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).
          Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
1) Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)
          Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
2) Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
          Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.[4]
          Ada beberapa dalil yang menunjukkan aatas kehujjahan sunnah dijadikan sumber hokum islam yaitu sebagai berikut:

a.            Dalil al-Qur’an.
          Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk patuh kepada Rasul dan mengikuti Sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintahmengikuti Sunnah sebagai hujjah, antara lain:
1) Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana.
firman Allah s.w.t. surat Ali-Imran (3:179) :
ÇÊÐÒÈ ÒÏàtã íô_r& öNä3n=sù (#qà)­Gs?ur (#qãYÏB÷sè? bÎ)ur 4 ¾Ï&Î#ßâur «!$Î/ (#qãYÏB$t«sù….
          Artinya :
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepadaumatnya baik al-Qur’an maupun Hadits yang dibawanya.
2) Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allahs.w.t., sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepadaAllahdan
Rasul-Nya dan kepada kitab yangAllah diturunkan kepada Rasul-Nya, sertakitab yang Allah turunkan sebelumnya”.
3) Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintahAllah s.w.t.
sebagaimana firman Allah s.w.t. :
          Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah”.
4) Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana firman Alla>hs.w.t.
          Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
          Dari beberapa ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwasannya perintah untuktaat kepada Allah dan mengikuti Rasul s.a.w., itu sangat penting sebagai wujuddari iman kita kepada Allah s.w.t. ini menunjukkan bahwasannya kedudukanSunnah mempunyai posisi yang penting sebagai dasar hukum atau hujjah dalamIslam.
b. Dalil Hadits.
          Hadits yang dijadikan dalil kehujjahan Sunnah juga banyak sekali, diantaranyasebagaimana sabda Nabi s.a.w.
          Artinya :
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selamaberpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Alla>h dan Sunnahku”. (HRal-H{akim dan Malik)
          Dari hadits diatas sudah jelas bahwasannya manusia yang berpegang teguhkepada kitab al-Qur’an dan Sunnah Nabi maka ia tidak akan pernah tersesatkejalan yang dimurkai Allah s.w.t.
c. Dalil Aqli
          Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan keduasetelah al-Quran . Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuahpemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1. Al-Quran memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhannial-wurud. 12 Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2. As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Quran. Ini harus dipahamibahwa yang menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawahyang dijelaskan (al-Quran).
3. Adanya beberapa hadis dan atsar yang memberikan keterangan tentangurutan dan kedudukan as-sunnah setelah al-Quran. Hal ini bisa di lihat daridialog antara Nabi dengan Muaz bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeriYaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatuperkara?”. Muaz menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanyanashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuandalam sunnah maka dengan berijtihad.
4. Al-Quran berasal dari Allah sedang sunnah atau hadis berasal dari hambadan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itulebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.[5]


d. Ijma’ Para Ulama
          Para ulama telah sepakat (konsensua) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dalam hukum Islam setelah al-Quran. Asy-SyafiI (w. 204 H) mengatakan: Aku tidak mendengan seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah swt., untuk mengikuti Rasul saw., dan berserah diri atas keputusannya.Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain duadasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah menfardukan kita, orang-orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul saw. Tidak ada seorang punyang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah saw. (Muhammad bin Idris Asy-Syafii, 1983: 250).
          Demikian juga ulama lain, seperti as-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa orang yang mengingkari Kehujahan hadis Nabi baik perkataan dan perbuatannya yand memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam ilmu ushul adalah kapir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nashrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang-orang kafir (Jalaludin As-Sayuthi, 1998: 140). Asy-Syaukani (w. 1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hokum Islam seperti al-Quran dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam (Muhammad bin Ali As-Syaukani, 160-161. Dan As-Suyuti, Miftah al-Jannah, h. 140). Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah al-Quran. Fuqaha sahabat selalu bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan al-Quran dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam al-Quran.
          Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami bahwa:
a. Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekolompok minoritas orang.
b. Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap al-Quran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hokum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Quran.
c. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qathi (pasti), baik dari ayat-ayat al-Quran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
d. Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.[6]

D . FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN

Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`an yang paling pokok adalahsebagai bayân, sebagaimanaditandaskan dalam ayat:
“ k e t e r a n g a n - k e t e r a n g a n(mu`jizat) dan kitab-kitab. DanKami turunkan kepadamu AlQur’an, agar kamu menerangkankepada umat manusia apayang telah diturunkan kepadamereka dan supaya mereka
memikirkan,. (Qs.16:44)”.
Ayat tersebut menunjukkanbahwa Rasul SAW bertugas memberikanpenjelasan tentang kitabAllah. Penjelasan Rasul itulahyang dikategorikan kepada alhadîts.Umat manusia tidak akanbisa memahami al-Qur`ân tanpamelalui al-hadîts tersebut. Al-Qur`ân bersifat kullydan ‘am, makayang juz’iy dan rinci adalah alhadîts.Imam Ahmad menandaskanbahwa seseorang tidak mungkinbisa memahami al-Qur`ân secarakeseluruhan tanpa melalui al-hadîts.Imam Al-Syatibi jugaberpendapatbahwa kita tidak akan bisamengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân
tanpa melalui al-hadîts. Dengandemikian jelaslah fungsi al-hadîtsterhadap al-Qur`ân itu cukuppenting, yaitu sebagai bayân ataupenjelas.Dalam konteks ini penulis akanmemberikan contoh serta gambarantentang bagaimana al-hadîts menjelaskanisi al-Qur`ân:
1. Al-Qur`ân telah menghalalkanmakanan yang baik-baik (Qs.5:1),dan megharamkan yang kotorkotor(Qs.7:156); tetapi di antarakeduanya (di antara yang baikbaikdan yang kotor-kotor) itu adaterdapat beberapa hal yang tidakjelas atau syuhbat, yang samarsamar(tidak nyata baik dan tidaknyata buruknya). Ukuran baik danburuk pun menurut pandanganmanusia akan berbeda. Olehsebab itu, Rasul SAW yangmenetapkan mana yang baik danmana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya. Beliaumengharamkan segala hewanhewan(binatang-binatang) buas, yang mempunyai taring, danburung-burung yang mempunyaikuku yang mencakar dan yangmenyambar, demikian juga beliaumengharamkan keledai jinak(bukan keledai hutan), karenasemua itu termasuk binatangyang kotor-kotor dan yang kejikeji.

2. Al-Qur`ân telah menghalalkansegala minuman yang tidak memabukan,danmengharamkan segala minumanyang memabukkan. Diantara yang tidak memabukkandan yang memabukkan adabeberapa macam minuman,yang sebenarnya tidakmemabukkan, tetapi dikuatirkankalau-kalau memabukkanjuga, seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuakyang ditaruh dalam bejana yangdicat dengan ter dari dalamnya(al- Muzaffat), juga yang ditaruhdi dalam batang kayu yang1Perhatikan hadits-hadits, fiy ma layu`kal minal-hayawan, at-Taj, (Maktabahal-Husna, Beirut: 1998), 95-96.dilobangi (al- Naqir), dan yangserupa dengan minuman yangmemabukkan dan membawa kebinasaan. Kemudian Rasulullah SAW kembalimenghalalkan segala sesuatuyang tidak memabukkan.[7]

          Fungsi hadist terhadap al-Qur’an secara umum adalah menjelaskanmakna kandungan al Al-Qur’an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya sajapenjelasan tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan.
          Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap
al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir
          Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan alitsbat,yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuatapa yang telah diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi hadits dalam hal inihanya memperkokoh isi kandungan al Qur’an.Sehingga dalam hal ini,hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Qur’an.Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan IbnuUmar, sebagai berikut:
          “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabilamelihat (ru’yah) itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)
          Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulanitu, maka hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.”
Contoh lain, hadits riwayat al Bukhari dari Abu Hurairah:
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yangberhadas sebelum berwudhu”. (H.R al Bukhari)

2. Bayan At-Tafsir
          Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untukmemberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masihbersifat global(mujmal), memberikan persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayatal Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap alQur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat alQur’an yang masih mujmal, baik adalah perintah mengerjakan shalat, puasa,zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan sebagainya. Ayatayatal Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenaicara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halanganhalangannya.Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnyamenafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadistberikut:
          “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.” (H.R al-Bukhari).[8]

          Mengenai pengertian Al-Qur'an ini cukup banyakdan berbedabedadalam pengungkapannya. Ada yang menambahnya dengan
keterangan membacanya menjadi ibadah, dan ada pula yangmenambahnya dengan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi Sawsecara mutawatir. Sebagian ulama ada yang menambahnya dengankata-kata yang mengandung mu 'jizat. Tetapi, pada prinsipnya terdapatpersamaan mengenai pengertian AJ-Qur'an, yaitu KalamuJlah yangditurunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian tersebut, sejalan.dengan apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, AIQur'anadalah firman Tuhan (AJJah SWT) ( 1994:32).[9]

          Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama Nabi Muhammad adalahuntuk menjelaskan isi kandungan al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayatayathukum dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasa hadis dapatdibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadis yang utama adalah untukmenjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasann al-al-Qur'an :
          Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad)melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang merekaperselisihkanBila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnahdisebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalamhubungannya dengan al-Qur'a,n maka hadis menjalankan fungsi sebagai
berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalamal-Qur'an yang dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'andalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, arenadapat saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum padawaktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yangterdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka menjelaskan apa yangdimaksud shalat pada ayat tersebut.
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besarmisalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-Qur'an .
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum,misalnya hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'anmisalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanitayang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapijuga saudara ibunya.[10]
















KESIMPULAN

               Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi hadis terhadap Al-Qur’an selaku sumber hukum kedua adalah sebagai bayan terhadap Al-qur’an untuk menjelaskan ayat-ayatyang terdapat dalam Al-qur’an dan memperjelas  hukum isi kandungan ayat tersebut dan bisa juga untuk membuat hukum baru terhadap al-qur’an. Daan juga berfungsi untuk menguatkan ayat Alqur’an sebagai sumber ajaran islam ssetelah Al-qur’an









































DAFTAR PUSTAKA
Edi, Relit Nur, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35
Fikri, Hamdani Khairul, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–81
Hairillah, H., ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol. XIV, (2015), 193–94
Himmawan, Muhamad Ali dan Didik, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29
L., Sulaemang, ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir, Vol. 8, No (2015), 296–197
Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume 15, (2014), 18
Setiyanto, Danu Aris, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN’, 3–4
SODIKIN, R. ABUY, ‘MEMAHAMI SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2
Sulidar, ‘URGENSI KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36
Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14 (2010), 336



[1]Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume 15, (2014), 18.
[2]H. Hairillah, ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol. XIV, (2015), 193–94.
[3]Sulidar, ‘URGENSI KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36.
[4]Muhamad Ali dan Didik Himmawan, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29.
[5]Relit Nur Edi, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35.
[6]Sulaemang L., ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir, Vol. 8, No (2015), 296–197.
[7]Hamdani Khairul Fikri, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–81.
[8]Danu Aris Setiyanto, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN’, 3–4.
[9]R. ABUY SODIKIN, ‘MEMAHAMI SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2.
[10]Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14 (2010), 336.