HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL
KEHUJJAHAN DAN FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN
Menurut bahasa (lughat), hadits dapat
berarti baru, dekat (qarib) dan cerita(khabar). Sedangkan menurut
istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan
segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi
pengertian hadits hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala
taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum.Beranjak dari
pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits
dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Alquran merupakan sumber hukum
utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal
atau perkara yang sedikit sekali Alquran membicarakanya, atau Alquran
membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam
Alquran. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Alquran
tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan
Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Alquran atau bahkan menjadi sumber
hukum sekunder atau kedua setelah Alquran.
B. HADIS SEBAGAI SUMBER
AJARAN AGAMA
Hadits’
disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk
mufrad dan 5 kali dalam bentuk jama’(Baqi, 1992: 247-248). Kata ‘hadits’ dalam
al Quran maupun kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti: (a)
komunikasi religius, pesan atau al-Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam
surat al Zumar ayat 23.(b)cerita duniawi atau kejadian alam yang wajar,
sebagaimana yang tercantum dalam surat al An’am ayat 68. (c) cerita sejarah, sebagaimana
yang tercantum dalam surat Taha ayat 9. (d) rahasia, percakapan atau cerita
yang masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3
(Azami, 1977: 1-2). Dari keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya
terangkum dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan
bahwa hadits secara literal mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication (berita
atau kabar), historical information (informasi
sejarah),
baik bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan dengan
peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi (Goldziher, 1971).
Secara
terminology, hadits mempunyai makna segala sesuatu yang
disandarkan
kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan sertasifat-sifat fisik
dan suri tauladan Nabi (Sabbaq, 1972: 14-17). Dalam pengertianyang semacam ini,
hadits disinonimkan dengan istilah sunnah. Berdasarkan definisi tersebut,
bentuk-bentuk hadits dapat dibedakan menjadi (a) sabda, (b) perbuatan, (c)
taqrir, (d) hal ihwal Nabi, yaitu segala sifat dan keadaan beliau (al Siba’i,
1994: 53). Menurut Nuruddin ‘Itr, definisi tersebut masih dirasa kurang
sempurna, karena dalam kitab-kitab hadits banyak dijumpai perkataan-perkataan
yang tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in. Sehingga
pengertian hadits secara terminology, yang ideal adalah segala sesuatu yang
disandarkan pada Nabi, berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau
etik, dan juga segala sesuatu yang yang disandarkan kepada para sahabat dan
tabi’in (‘Itr, 1992: 9).[1]
Sunnah bisa berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah),
kebiasaan atau ketentuan. Sunnah dalam pengertian ini bisa mencakup sunnah
yang baik (sunnah hasanah) maupun sunnah yang buruk (sunnah qabihah).Dalam
pengertian ini al-Qur’an menyebutnya dengan Sunnah al-Awwaliin, yakni
sunnah yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada orang-orang terdahulu
(Al-Anfal:38). Istilah sunnah juga terdapat dalam teks hadits, yang mencakup
pengertian sunnah yang baik dan sunnah yang buruk, sebagaimana hadits riwayat
Muslim yang mengatakan:
“Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau
kebiasaan baik (sunnah hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku
tersebut dan pahala orang-orang yang ikut melakukannya di kemudian hari.
Sebaliknya siapa yang memperkenalkan perilaku yang buruk (sunnah sayyi’ah), ia
akan memperoleh dosa perilaku tersebut dan dosa orang-orang yang melakukannya
di kemudian hari tanpa ada sesuatu yang mengurangi dosa mereka.”
Menurut Fazrur Rahman, perilaku generasi setelah Nabi
adalah personifikasi dari perilaku Rasulullah SAW yang dihidupkan secara turun
temurun. As-sunnah sebagai tradisi yang hidup, yang bermula dari perilaku
Muhammad SAW, diikuti para sahabatnya, diikuti oleh pengikut sahabat, demikian
seterusnya sehingga perilaku itu menjadi melembaga dan mendarah daging. Apabila
proses internalisasi telah terjadi, institusionalisasi perilaku akan membuahkan
kesepakatan sosio-kultural. Secara sosiologis, adanya kesesuaian antara sistem
nilai, sistem sosial dan sistem budaya sehingga membentuk kolektifitas tingkah
laku.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shidieqie,
sunnah adalah pengejawantahan perilaku menurut contoh Rasulullah SAW yang
merujuk pada hadits. (perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga menjadi
semacam tradisi ).Masyarakat Arab pra Islam menggunakan kata sunnah untuk
menyebut praktik kuno dan berlaku terus menerus dari masyarakat yang diwariskan
oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku Arab pra-Islam
memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari identitas dan
kebanggaan mereka. Perbuatan Rasulullah SAW, merupakan perbuatan yang dibimbing
oleh wahyu sehingga merupakan keteladanan, bahkan disebut sebagai uswah
hasanah . Manakala perbuatan tersebut ditiru oleh para sahabat, para
sahabat ditiru oleh para tabi’in, para tabi’in ditiru oleh para pengikutnya,
dan seterusnya hingga umat Muhammad SAW sekarang ini, keteladanan tersebut
menjadi tradisi normatif yang membentuk menjadi sistem sosial, maka hal itulah
yang paling fundamental dalam memaknakan sunnah sebagai keteladanan yang
berawal dari perilaku Rasulullah SAW.Sedangkan hadits secara harfiah berarti
baru, cerita, kisah, perkataan atau peristiwa. Istilah ini mempunyai
definisi yang baku. Menurut para ahli hadits, kata ini menunjuk pada segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan,
perbuatan, taqrir (sesuatu yang dibiarkan, dipersilakan dan disetujui secara
diam-diam), sifat-sifat dan perilaku yang terjadi sebelum ia menjadi Nabi atau
sesudahnya. Sementara menurut para ahli ushul fiqh, hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang
dapat menjadi hukum syara’.[2]
Berdasarkan petunjuk Alquran, Sunnah
Nabi saw. adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran. Itu berarti, untuk
mengetahui ajaran Islam yang benar, selain diperlukan petunjuk Alquran, juga
diperlukan petunjuk Sunnah Nabi saw.Sebagian ulama memberi istilah untuk Hadis
Nabi saw dengan wahyu al-gair al-matlu, sebagai imbangan terhadap
istilah untuk Alquran yang disebutnya dengan wahyu al-matlu. Pendapat
itu memang mengundang masalah, sebab dengan menyatakan bahwa seluruh Hadis Nabi
sebagai wahyu, maka berarti semua jenis Hadis atau apa saja yang disandarkan
kepada Nabi, sebagaimana pengertian sunnah menurut ulama Hadis, adalah wahyu.
Jika demikian, apakah tertawa dan warna rambut Nabi adalah wahyu juga? Dalam
hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa ulama usul fiqh memberi batasan
yang disebut sunnah Nabi adalah segala pernyataan, perbuatan dan taqrir Nabi
yang berkaitan dengan hokum (syara‟). Apabila pengertian istilah
tersebut dihadapkan dengan pernyataan bahwa sunnah Nabi adalah wahyu gair
al-matlu, maka apakah ijtihad Nabi yang dikoreksi oleh Alquran termasuk
juga wahyu?
Terlepas dari tepat atau tidak
tepatnya pernyataan bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu gair al-matlu, maka
yang pasti bahwa Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw
sebagai Rasulullah yang berfungsi atau tugas antara lain untuk (1) menjelaskan
Alquran, (2) dipatuhi oleh orang-orang yang beriman; (3) menjadi uswah
hasanahdan rahmat bagi sekalian alam. Dalam pada itu, beliau adalah juga
manusia biasa, seorang suami, ayah, anggota keluarga, teman, pengajar,
pendidik, mubalig, dan seorang kepala negara. Selain itu, ada pula hal-hal
khusus yang oleh Allah swt hanya diperuntukkan bagi Nabi sendiri dan tidak
untuk umatnya, misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri.[3]
C. DALIL-DALIL
KEHUJJAHAN HADIS
Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah
hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum
(al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil
syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup
kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman
terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus
percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang
menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
Alasan lain mengapa
umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh
Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara
yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam
Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai
sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam
berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji
dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya
berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru
Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna
alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan
tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam
kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata :
Artinya
: “Aku tinggalkan dua
pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama
kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya.”(HR. Malik).
Hadits
di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah
Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan
dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
1) Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)
Umat
Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan
sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga
masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
2) Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan
Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban
misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik
isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.[4]
Ada beberapa dalil yang menunjukkan aatas
kehujjahan sunnah dijadikan sumber hokum islam yaitu sebagai berikut:
a.
Dalil
al-Qur’an.
Banyak sekali
ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk patuh kepada Rasul dan mengikuti
Sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintahmengikuti Sunnah sebagai
hujjah, antara lain:
1) Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya,
sebagaimana.
firman Allah s.w.t. surat Ali-Imran (3:179) :
ÇÊÐÒÈ ÒOÏàtã
íô_r&
öNä3n=sù
(#qà)Gs?ur
(#qãYÏB÷sè?
bÎ)ur
4 ¾Ï&Î#ßâur
«!$Î/
(#qãYÏB$t«sù….
Artinya :
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu
pahala yang besar”.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang
disampaikan kepadaumatnya baik al-Qur’an maupun Hadits yang dibawanya.
2) Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman
kepada Allahs.w.t., sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepadaAllahdan
Rasul-Nya dan kepada kitab yangAllah
diturunkan kepada Rasul-Nya, sertakitab yang Allah turunkan sebelumnya”.
3) Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut
perintahAllah s.w.t.
sebagaimana firman Allah s.w.t. :
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk
ditaati
dengan seizin Allah”.
4)
Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana firman Alla>hs.w.t.
Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Dari beberapa
ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwasannya perintah untuktaat kepada Allah
dan mengikuti Rasul s.a.w., itu sangat penting sebagai wujuddari iman kita
kepada Allah s.w.t. ini menunjukkan bahwasannya kedudukanSunnah mempunyai
posisi yang penting sebagai dasar hukum atau hujjah dalamIslam.
b. Dalil Hadits.
Hadits yang dijadikan
dalil kehujjahan Sunnah juga banyak sekali, diantaranyasebagaimana sabda Nabi
s.a.w.
Artinya :
“Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara, kalian tidak akan sesat selamaberpegang teguh kepada keduanya yaitu
kitab Alla>h dan Sunnahku”. (HRal-H{akim dan Malik)
Dari hadits
diatas sudah jelas bahwasannya manusia yang berpegang teguhkepada kitab
al-Qur’an dan Sunnah Nabi maka ia tidak akan pernah tersesatkejalan yang
dimurkai Allah s.w.t.
c.
Dalil Aqli
Jumhur ulama
menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan keduasetelah al-Qur‟an . Dalam hal ini Al-Suyuti dan
Al-Qasimi memberikan sebuahpemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen
tersebut ialah:
1.
Al-Qur‟an memiliki sifat qath’i al-wurud,
sedang as-sunnah bersifat zhannial-wurud. 12 Oleh sebab itu yang
bersifat qath’i harus didahulukan.
2.
As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur‟an. Ini harus dipahamibahwa yang
menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawahyang dijelaskan
(al-Qur‟an).
3.
Adanya beberapa hadis dan atsar yang memberikan keterangan tentangurutan dan
kedudukan as-sunnah setelah al-Qur‟an.
Hal ini bisa di lihat daridialog antara Nabi dengan Mu‟az bin Jabal yang waktu itu diutus ke
negeriYaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan
suatuperkara?”. Mu‟az
menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanyanashnya, maka dengan sunnah
Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuandalam sunnah maka dengan berijtihad.
4.
Al-Qur‟an
berasal dari Allah sedang sunnah atau hadis berasal dari hambadan utusannya,
maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itulebih tinggi
kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.[5]
d. Ijma’ Para Ulama
Para ulama telah sepakat (konsensua) bahwa sunnah sebagai
salah satu hujah dalam hukum Islam setelah al-Qur‟an. Asy-Syafi‟I
(w. 204 H) mengatakan: “Aku tidak mendengan seseorang
yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi
kewajiban Allah swt., untuk mengikuti Rasul saw., dan berserah diri atas
keputusannya.Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya.
Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan kitab Allah atau
sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain duadasar tersebut harus mengikutinya.
Sesungguhnya Allah telah menfardukan kita, orang-orang sebelum dan sesudah kita
dalam menerima khabar dari Rasul saw. Tidak ada seorang punyang berbeda bahwa
yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah saw.
(Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, 1983: 250).
Demikian juga ulama lain, seperti as-Suyuthi (w. 911 H)
berpendapat bahwa orang yang mengingkari Kehujahan hadis Nabi baik perkataan
dan perbuatannya yand memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam ilmu ushul adalah
kapir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nashrani atau
bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang-orang kafir
(Jalaludin As-Sayuthi, 1998: 140). Asy-Syaukani (w. 1250) juga mempertegas
bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah secara mandiri sebagai sumber
hokum Islam seperti al-Qur‟an dalam menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber
hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang
menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam (Muhammad bin Ali
As-Syaukani, 160-161. Dan As-Suyuti, Miftah al-Jannah, h. 140). Para
ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah
al-Qur‟an.
Fuqaha sahabat selalu bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan al-Qur‟an
dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam al-Qur‟an.
Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami bahwa:
a. Para ulama sepakat bahwa
sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali
sekolompok minoritas orang.
b. Kehujahan sunnah adakalanya
sebagai mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur‟an atau berdiri sendiri
sebagai hujah untuk menambah hokum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur‟an.
c. Kehujahan sunnah berdasarkan
dalil-dalil yang qath‟i (pasti), baik dari ayat-ayat
al-Qur‟an
atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi
murtad.
d. Sunnah yang
dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik
mutawatir atau ahad.[6]
D . FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN
Fungsi
al-Hadits terhadap al-Qur`an yang paling pokok adalahsebagai bayân, sebagaimanaditandaskan dalam ayat:
“ k e t e r a n g a n - k e t e r a n g a n(mu`jizat) dan
kitab-kitab. DanKami turunkan kepadamu AlQur’an, agar kamu menerangkankepada
umat manusia apayang telah diturunkan kepadamereka dan supaya mereka
memikirkan,. (Qs.16:44)”.
Ayat
tersebut menunjukkanbahwa Rasul SAW bertugas memberikanpenjelasan tentang
kitabAllah. Penjelasan Rasul itulahyang dikategorikan kepada alhadîts.Umat
manusia tidak akanbisa memahami al-Qur`ân tanpamelalui al-hadîts tersebut.
Al-Qur`ân bersifat kullydan ‘am, makayang
juz’iy dan rinci adalah alhadîts.Imam Ahmad menandaskanbahwa seseorang
tidak mungkinbisa memahami al-Qur`ân secarakeseluruhan tanpa melalui
al-hadîts.Imam Al-Syatibi jugaberpendapatbahwa kita tidak akan bisamengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân
tanpa
melalui al-hadîts. Dengandemikian jelaslah fungsi al-hadîtsterhadap al-Qur`ân
itu cukuppenting, yaitu sebagai bayân
ataupenjelas.Dalam konteks ini penulis
akanmemberikan contoh serta gambarantentang bagaimana al-hadîts menjelaskanisi
al-Qur`ân:
1.
Al-Qur`ân telah menghalalkanmakanan yang baik-baik (Qs.5:1),dan megharamkan
yang kotorkotor(Qs.7:156); tetapi di antarakeduanya (di antara yang baikbaikdan
yang kotor-kotor) itu adaterdapat beberapa hal yang tidakjelas atau syuhbat, yang samarsamar(tidak nyata baik dan tidaknyata buruknya).
Ukuran baik danburuk pun menurut pandanganmanusia akan berbeda. Olehsebab itu,
Rasul SAW yangmenetapkan mana yang baik danmana yang buruk itu, dengan istilah
halal dan haramnya. Beliaumengharamkan segala hewanhewan(binatang-binatang)
buas, yang mempunyai taring, danburung-burung yang mempunyaikuku yang mencakar
dan yangmenyambar, demikian juga beliaumengharamkan keledai jinak(bukan keledai
hutan), karenasemua itu termasuk binatangyang kotor-kotor dan yang kejikeji.
2.
Al-Qur`ân telah menghalalkansegala minuman yang tidak memabukan,danmengharamkan
segala minumanyang memabukkan. Diantara yang tidak memabukkandan yang
memabukkan adabeberapa macam minuman,yang sebenarnya tidakmemabukkan, tetapi
dikuatirkankalau-kalau memabukkanjuga, seperti tuak dari ubi, tuak kedelai,
tuak labu, atau tuakyang ditaruh dalam bejana yangdicat dengan ter dari
dalamnya(al- Muzaffat), juga yang ditaruhdi dalam batang kayu yang1Perhatikan
hadits-hadits, fiy ma
layu`kal minal-hayawan, at-Taj, (Maktabahal-Husna,
Beirut: 1998), 95-96.dilobangi (al-
Naqir), dan yangserupa dengan minuman
yangmemabukkan dan membawa kebinasaan. Kemudian Rasulullah SAW
kembalimenghalalkan segala sesuatuyang tidak memabukkan.[7]
Fungsi hadist terhadap al-Qur’an secara
umum adalah menjelaskanmakna kandungan al Al-Qur’an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya sajapenjelasan
tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan.
Secara garis besar
ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap
al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1. Bayan
at-Taqrir
Bayan
at Taqrir disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan alitsbat,yang dimaksud dengan bayan ini ialah
menetapkan dan memperkuatapa yang telah diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi
hadits dalam hal inihanya memperkokoh isi kandungan al Qur’an.Sehingga dalam
hal ini,hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam
al-Qur’an.Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan
IbnuUmar, sebagai berikut:
“Apabila
kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabilamelihat (ru’yah)
itu maka berbukalah”.(H.R
Muslim)
Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:
“Barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulanitu, maka hendaknya ia berpuasa pada
bulan itu.”
Contoh lain, hadits riwayat al Bukhari dari Abu Hurairah:
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yangberhadas sebelum
berwudhu”. (H.R al Bukhari)
2. Bayan
At-Tafsir
Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi
untukmemberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang
masihbersifat global(mujmal), memberikan persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayatal Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap alQur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh
tentang ayat-ayat alQur’an yang masih mujmal, baik adalah perintah mengerjakan
shalat, puasa,zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan
sebagainya. Ayatayatal Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik
mengenaicara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau
halanganhalangannya.Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui
hadistnyamenafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam
hadist-hadistberikut:
Mengenai
pengertian Al-Qur'an ini cukup banyakdan berbedabedadalam pengungkapannya. Ada
yang menambahnya dengan
keterangan membacanya menjadi
ibadah, dan ada pula yangmenambahnya dengan keterangan yang diriwayatkan dari
Nabi Sawsecara mutawatir. Sebagian ulama ada yang menambahnya dengankata-kata
yang mengandung mu 'jizat. Tetapi, pada prinsipnya terdapatpersamaan mengenai
pengertian AJ-Qur'an, yaitu KalamuJlah yangditurunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Pengertian tersebut, sejalan.dengan
apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, AIQur'anadalah firman
Tuhan (AJJah SWT) ( 1994:32).[9]
Di atas telah
disinggung bahwa fungsi utama Nabi Muhammad adalahuntuk menjelaskan isi kandungan
al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayatayathukum dalam al-Qur'an masih dalam
bentuk garis besar yang secara amaliah belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal
ini penjelasa hadis dapatdibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadis yang utama
adalah untukmenjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasann
al-al-Qur'an :
Artinya: Dan kami
tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad)melainkan agar engkau dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang merekaperselisihkanBila al-Qur'an disebut
sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnahdisebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani, dalamhubungannya dengan al-Qur'a,n maka hadis
menjalankan fungsi sebagai
berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut
dalamal-Qur'an yang dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam
al-Qur'andalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata
shalat, arenadapat saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum
padawaktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yangterdiri dari
ucapan dan perbuatan dalam rangka menjelaskan apa yangdimaksud shalat pada ayat
tersebut.
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis
besarmisalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-Qur'an .
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara
umum,misalnya hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam
al-Qur'anmisalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanitayang
bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapijuga saudara
ibunya.[10]
KESIMPULAN
Jadi
dapat disimpulkan bahwa fungsi hadis terhadap Al-Qur’an selaku sumber hukum kedua
adalah sebagai bayan terhadap Al-qur’an untuk menjelaskan ayat-ayatyang
terdapat dalam Al-qur’an dan memperjelas
hukum isi kandungan ayat tersebut dan bisa juga untuk membuat hukum baru
terhadap al-qur’an. Daan juga berfungsi untuk menguatkan ayat Alqur’an sebagai
sumber ajaran islam ssetelah Al-qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Edi, Relit Nur,
‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6,
No. (2014), 133–35
Fikri, Hamdani
Khairul, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015),
180–81
Hairillah, H.,
‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol.
XIV, (2015), 193–94
Himmawan, Muhamad Ali
dan Didik, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN
HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan
Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29
L., Sulaemang, ‘SIKAP
PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir,
Vol. 8, No (2015), 296–197
Nasrulloh, ‘Rekonstru
Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume
15, (2014), 18
Setiyanto, Danu Aris,
‘FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN’, 3–4
SODIKIN, R. ABUY, ‘MEMAHAMI
SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2
Sulidar, ‘URGENSI
KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica
Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36
Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN
FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14 (2010),
336
[1]Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija
Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume 15, (2014), 18.
[2]H. Hairillah, ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA
DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol. XIV, (2015), 193–94.
[3]Sulidar, ‘URGENSI KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN
KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica
Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36.
[4]Muhamad Ali dan Didik Himmawan, ‘PERAN HADITS SEBAGAI
SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP
ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan
Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29.
[5]Relit Nur Edi, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian
Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6,
No. (2014), 133–35.
[6]Sulaemang L., ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN
KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir, Vol. 8, No (2015), 296–197.
[7]Hamdani Khairul Fikri, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP
AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12,
(2015), 180–81.
[8]Danu Aris Setiyanto, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP
Al-QURAN’, 3–4.
[9]R. ABUY SODIKIN, ‘MEMAHAMI SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2.
[10]Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER
HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14
(2010), 336.