Senin, 07 Oktober 2019


               Sejarah Hadits Prakodifikasi:                Hadis  pada priode Rasul, Sahabat, dan                                        Tabi’in

A. Budaya Tulis-Menulis Hadis pada Masa KeNabian
 Adalah sebuah fakta yang tidak dipungkiri bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta huruf. Pada fase awal keNabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang mengenal budaya tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis belum dikenal luas oleh masyarakat Medinah terkecuali sebagian kaum yahudi. Nabi sangat menyadari urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda pembelajaran dan menuai hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebegai sekertaris yang bertugas mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk beberapa sahabat untuk mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan yang mengetahui surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi. Mesjid menjadi ikon pendidikan selain berfungsi sebagai tempat peribadatan. Usaha Nabi dalam memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya dalam melepaskan setiap tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak baca-tulis. Kemudian proses pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat di pelbagai kota-kota Islam seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke pelbagai kota untuk mengajarkan ajaran Islam.

B. Argumentasi Eksistensi Hadits
Keberadaan hadis sebagai tashri’, dapatlahditelusuri melalui hujjah Alquran, argumen-tasi hadis itu sendiri, maupun ijmak sahabat yang telah berkembang dalam sejarah pertum- buhan hadis. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimunculkan sebagai basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari kebera- daan hadis. Kenapa harus mengambil dari Alquran, hadis, maupun ijmak. Alasannya, Alquran sebagai basis hukum pertama dalam runtutan hukum Islam, merupakan pijakan pertama yang harus dilihat secara jernih. Bahwa apakah dalam ribuan ayat termaktub beberapa kalimat yang melegimitasi kebera- daan hadis, atau malah terdapat beberapa ayat Alquran yang menolak keberadaan hadis. Dari hasil penelusuran, terdapat puluhan ayat Alquran yang mengisyaratkan secara jelas dan tegas akan eksistensi hadis sebagai tashri’. Demikian juga kenapa harus mengambil dari hadis. Bukankah hal itu pendekatan yang kurang objektif. Dengan pertimbangan keab- sahan hadis melalui hadis, pengakuan dari dalam relatif kurang relevan. Penjelasannya, untuk mencari apakah legitimasi hadis bertolak belakang dengan hadis itu sendiri atau tidak. Demikian halnya dengan ijmak, mengungkapkan sejauh mana para sahabat berkomitmen terhadap hadis sebagai pemutus persoalan yang terjadi sepeninggalan Rasulullah.

C. Metode Kritik Sanad
Teori Kritik Sanad
Pengertian kritik sanad hadis berdasarkan pada terminologi kritik yang digunakan dalam ilmu hadis adalah kritik sanad adalah suatu penyeleksian yang ditekankan dan dimaksudkan pada aspek sanadnya. Sehingga menghasilkan istilah Sahih al-isnad dan Dha’if al-isnad. Shihih al-isnad ialah seluruh jajaran perawi dalam suatu hadis berkualitas sahih, di samping juga adanya kebersambungan sanad, serta terbebas dari kerancuan (syadz) dan cacat (‘illat). Sedangkan Dha’if al-isnad adalah salah satu atau beberapa jajaran periwayatnya berkualitas dha’if atau bisa jadi karena tidak memenuhi kriteria kesahihan isinya. Dengan demikian, bukan berarti bahwa hadis yang telah diberi level sahih al-isnad itu layak disandingi sahih al-matan, atau sebaliknya hadis yang telah dinilai dha’if al-isnad juga berarti dha’ifal-matan. Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah seragam. Akan tetapi ada kaidah- kaidah yang disepakati oleh ulama hadis dan masih terjadi sampai sekarang.

Tafsir Hadis di Mata Orientalis
Menurut Muir, dalam bukunya The Life of Muhammad, wahyu dalam Islam tidak lain hanyalah tipuan/akal-akalan Muhammad. Pendapat ini didasarkan pada riwayat perjalanan Nabi ke negeri Syam dengan pamannya, dan perjalanan beliau ke Syam ketika mendapat pekerjaan dari Khadijah untuk berdagang. Dalam perjalanan tersebut, Nabi melihat Rahib dan Pendeta sedang beribadah dengan khusuk. Pengalaman inilah -yang pertama kali ia lihat- memberikan pengaruh sangat kuat kepada Nabi, sehingga ia berusaha dengan keras untuk menemukan agama yang benar. Dalam usaha menemukan agama yang benar itu, Nabi mengaku telah menerima wahyu dari Allah. Sebagai buktinya ia telah berhasil berdagang dengan mendapatkan untung yang banyak. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menikahi Khadijah.
Selanjutnya kajian orientalis terhadap al-Qur’an juga ternyata tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya saja sebagai wahyu dari Tuhan. Tapi lebih dari sekedar itu adalah isu klasik yang selalu bergulir soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an “theories of borrowing and influence”. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negative seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson: “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings–largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi walaupun demikian, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an.
Mengingat kajian Orientalis yang begitu luas terhadap pemikiran Islam mencakup al-Qur’an, Hadits, Sirah Nabi, Sejarah Islam, Kalam, Fikh dan Usul Fikh, Sufi, Perbandingan Agama, Sejarah Islam di Nusantara dan lain-lain, maka tulisan ini akan memfokuskan kepada kajian para Orientalis terhadap al-Qur’an dan hadis.

D. Islamolog, Ulama Kontemporer dan Metode Pemahaman Hadits
      Pada pembahasan ini tulisan diarahkan  untuk mengkaji bagaimana metodologi para Islamolog dan ulama Islām kontemporer dalam memahami hadīth-hadīth Rasūlullāh. Mengenai pemahaman terhadap hadīth juga diper- bincangkan secara meluas oleh beberapa sarjana orientalis dan Islamolog yang tekun mempelajari literatur Islām di mana mereka melakukan penelitian selanjutnya memberi pemahaman terhadap hadīth-hadīth Nabi di antaranya adalah Ignaz Goldziher, Wensinck, Joseph Schacht, dan lain-lain. Di mana mereka telah mengeritik metode ahli hadīth tentang cara memahami ma‟ānī al-hadīth kemudian mereka menawarkan metode baru yaitu “Metode Kritik Matn Hadīth” sebagai solusinya.

Metodologi Rasyid Rida
           Syeikh Rasyid Rida, misalnya, telah menjelaskan klasifikasi sunnah ketika ia memaparkan masalah īttiba„ atau mengikuti sunnah Nabi SAW dan kesalah pahaman yang terjadi terhadap masalah īttiba„ ini, yaitu dalam menafsirkan firman Allah surat al-A„raf ayat 158 “dan ikutilah ia supaya kamu mendapat petunjuk” dan ayat yang berbunyi: “dan ikutilah dia” yang dinilai lebih umum daripada ayat sebelumnya yang berbunyi: “dan orang-orang yang beriman yang mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur‟ān) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Menurut Rasyid Rida, maksud ayat tersebut adalah ittiba„ hanya terbatas pada mengikuti al-Qur‟ān secara khusus. Sunnah yang tidak harus diikuti adalah hal-hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan nabi. Demikian pula ketika ia menafsirkan ayat 31 surat ‟Ālī „Imrān: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah saya niscaya Allah akan mencintai kalian” bahwa apa saja yang dibawa oleh Nabi Muhammad dari sisi Allah adalah jelas karena Allah, baik perintah-perintah maupun larangan- larangan-Nya. Tanda kecintaan terhadap sesuatu adalah mengetahui sesuatu yang dicintai itu, mengetahui larangan dan perintah serta menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala bentuk larangan. Semua ini adalah sarana dan pra syarat untuk membuktikan kecintaan kepada Allah. Ittiba„ dalam ayat tersebut juga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat formal atau syar„īyyah.

E. Reorientasi Makna Sunnah
        Secara bahasa sunnah berasal dari akar kata sanna yang terdiri dari tiga huruf sin, dan dua huruf nun. Akar kata ini merujuk kepada makna “perjalanan”. Dari akar kata ini diperoleh kata sunnah yang memiliki kesesuaian makna dengan makna dasar yaitu sebagai “suatu perjalanan hidup (sirah)”. Pada perkembangan selanjutnya kata sunnah dalam terminologi syariah seringkali dibatasi pemaknaannya hanya sebagai perkataan, perbuatan, dan keputusan Nabi Muhammad. Pemaknaan inilah yang umumnya dikenal oleh para akademisi Islam saat ini. Makna sunnah yang terbatas hanya pada tiga perkara ini menghasilkan cara pandang yang sempit akan hakikat sunnah itu sendiri. Akibatnya, kesimpulan tentang bagaimana model dakwah yang ideal juga akan terbatas hanya pada tiga perkara ini saja. Pemaknaan sunnah sebagai perkataan, perbuatan, dan keputusan Nabi Muhammad sejatinya adalah pemaknaan sunnah oleh para sarjana ushul fiqh. Hal ini mengingat orientasi bidang kajian mereka adalah kesimpulan hukum Islam. Oleh karena itu mereka membatasi sumber hukum yang mereka kaji hanya pada tiga hal ini saja. Berbeda halnya dengan para sarjana hadis, mereka menyatakan bahwa sunnah adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik itu perkataan, perbuatan, keputusan, sifat perangai, ciri fisik maupun perjalanan hidup. Dapat dilihat bahwa pemaknaan sunnah oleh para sarjana hadis lebih luas jika dibandingkan pemaknaan para sarjana ushul fiqh. Pemaknaan para sarjana hadis ini memiliki kesesuaian sekaligus mencakup di dalamnya makna sunnah secara bahasa yaitu “perjalanan hidup”. Perjalanan hidup Nabi Muhammad, bagaimanapun juga, dapat dianggap sebagai personifikasi dari dakwah Islam sebab Nabi merupakan tokoh paling sentral dalam sejarah Islam itu sendiri. Dalam hal ini, sejarah Islam terkait dakwah perlu dilihat sebagai sebuah proses historis dengan kronologi yang khas di mana Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada aspek-aspek kemanusiaan melalui ajaran-ajaran Zakat, shadaqah, dan melalui perbuatan- perbuatan Nabi yang menunjukkan keberpihakannya pada kelompok minoritas dan tertindas di eranya.

F. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam
           Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan kehidupan manusia.

G. Periodesasi Hadits Memasuki Masa Penyeleksian
        Setelah Hadis selesai dikodifikasikan sejak abad ke II dibawah kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz, para ulama berupaya mengembangkan studi hadits dengan pola penyeleksian hadits, sehingga pada masa abad ke III menjelang abad ke IV hijriah, mulailah bermunculan beragam kitab hadits yang begitu luar biasa, seperti kitab Shahih al-Bukhori karya Imam Bukhori, Shahih cabang-cabang hadis, seperti keadaan sanad beserta matannya. Pelopor pembaharuan dalam ilmu ini adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafizh al-Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin ash-Shalah (w. 643 H), beliau telah menyusun kitab yang dinilai paling mencakup dalam bahasan ilmu hadis yang ditulis pada masa itu adalah ‘Ulum al-Hadis yang kemudian kitab ini lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah 24 kitab tersebut mencakup keterangan-keterangan yang terdapat diberbagai kitab sebelumnya dan mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Usaha-usaha yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini ialah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaring dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat, mensyarahi dan meringkas kitab yang sudah ada sebelumnya, serta menyusun kitab Athraf. Dan pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu. Selain itu, pada masa ini juga. Sehingga masa ini mengalami kemunduran ilmu pengetahuan, serta mengalami kemujudan dalam pemikiran sebagaimana yang telah telah terjadi sejak awal abad kelima Hijriyah, dan musibah yang menimpa umat Islam ketika itu adalah pergolakan internal antar sebagian para pemimpin Islam, dimana setiap amir kota dan pelosok menyerang wilayah keamiran kecil disekitarnya.

H. Ijtihad Pada Masa Nabi Muhammad SAW
                                                                           Bibit berbagai kaedah dalam mengistimbathkan hukum
islam yang menjadi objek ushul fiqh telah muncul sejak zaman Rasulullah SAW., hal ini semakin berkembang ketika Rasulullah SAW. telah wafat dan persoalan hukum semakin kompleks pula, sejalan dengan meluasnya wilayah islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW tasyri' al-Ahkam terbagi menjadi dua priode, yang masing-masing priode memiliki corak tersendiri, yaitu: Dari sahabat atau tidak ada kaitanya dengan yang mereka hadapi. Dan ketiga syaria'at turun secara bertahap yang berbentuk dalam dua hal, yaitu tahapan dalam kesatuan hukum, dan tahapan pada suatu perbuatan.
1. Priode Mekah Priode pertama ialah priode mekah, yakni selama Nabi SAW. menetap dan berkedudukan di mekah, yang lamanya dua belas tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hinga beliau berhijrah ke madinah. Dalam masa itu umat islam masih sedikit dan masih sangat lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai souvereignity (kekuasaan yang kuat). Pada masa ini belum banyak fakta-fakta yang menunjukan Nabi SAW. membuat hukum atau undang-undang. Karena itu tidaklah terdapat di dalam surat makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, ar-Radu, Ya Sin, dan al-Furqan. Kebanyakan ayat-ayat makiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, ahlak, dan sejarah.
 2. Priode Madinah Periode kedua adalah priode madinah, yakni masa Nabi SAW. telah berhijrah ke madinah, dan Nabi SAW. menetap di madinah selama sepuluh tahun dari mulai hijrah sampai wafatnya. Dalam masa inilah ummat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Mulailah Nabi SAW. membentuk suata masyarakat islam yang mempunyai souvereighty yang gilang gemilang. Karena itulah timbul keperluan untuk mengadakan syariat dan peratuan-peraturan, karena masyarakat membutuhkanya, untuk mengatur perhubungan antara angota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai maupun masa perang.

I. Problem Otentisitas Hadits
          Diskursus tentang otentisitas hadits merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kotroversial dalam studi hadits kontemporer. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya suatu asumsi bahwa hadits Nabi SAW secara normatif-teologis tidak ada garansi dari Allah SWT. Berbeda dengan al Quran yang oleh Allah SWT sendiri diberi ‘garansi’ akan keterpeliharaanya. Disamping itu problem otentisitas hadits dipandang sangat signifikan dan sangat penting, karena erat kaitannya dengan pandangan teologis mayoritas umat Islam yang menjadikan hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran pokok kedua setelah al Quran. Bahkan, ia dipandang sebagai Miftah al Quran (kunci untuk memahami al Quran), karena untuk memahami al Quran secara ‘syamil’ dibutuhkan hadits sebagai bayan, bahkan ada pendapat bahwa hadits dan sunnah Nabi SAW merupakan tafsir dari al Quran itu sendiri dan juga realisasi dari al Quran (Khairuman, 2004: 27). Orang yang meragukan hadits sebagai sumber istidlal, maka pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar mereka menerapkan al Quran sebagai ajaran dalam kehidupan sehari-hari? (Langaji, 2006, 67). Maraknya gugatan atas hadits berawal dari sejarah bahwa hadits tidak terdokumentasi secara resmi sejak awal peradaban muslim, hadits baru dibukukan secara resmi jauh setelah Nabi SAW wafat, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, sehingga untuk mengatakan hadits sebagai suatu sumber yang otentik sebagaimana al Quran perlu pengkajian yang mendalam. Sebagai konsekwensinya, muncullah para pembela hadits untuk melakukan pembelaan terhadap setiap pendapat yang mencoba meragukan atau bahkan menolak sama sekali terhadap kemungkinan hadits-hadits Nabi SAW yang benar-benar otentik dari Nabi SAW.








DARTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, Dosen Ilmu, Hadis Fakultas, and Ushuluddin Filsafat, ‘Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi Pra Kodifikasi Muhammad Abduh | 63’, 6 (2015), 3
Dan, Islamolog, and Ulama Kontemporer, ‘No Title’, 14.2 (2012), 3–5
Darmalaksana, Wahyudin, Lamlam Pahala, and Endang Soetari, ‘Kontroversi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam’, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2.2 (2017), 5 <https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.1770>
Jafar, Wahyu Abdul, ‘Ijtihad Dalam Bentang Sejarah Prakodifikasi Ushul Fiqh’, 4.01, 5–6
Karim, Abdul, and Jawa Tengah, ‘KAJIAN TAFSIR HADIS’, 7.2 (2013), 4
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, 17.1 (2016), 1–10
‘METODE KRITIK SANAD DAN MATAN HADITS Oleh : Zubaidah Sekolah Tinggi Pendidikan Islam Bina Insan Yogyakarta’
Qudsy, Saifuddin Zuhri, ‘Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis’, 2
Rahman, Haidir, ‘Haidir Rahman Dakwah Pra- Kenabian…’, 6
Tinggi, Sekolah, Agama Islam, and Sunan Drajat, ‘SISTEM ISNAD DAN OTENTISITAS HADITS : Kajian Orientalis Dan Gugatan Atasnya’, 15.2, 3–4






                           

Senin, 23 September 2019

HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJAHAN HADIS DAN FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR'AN


HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN DAN FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN


A.   PENDAHULUAN


Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita(khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum.Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Alquran merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Alquran membicarakanya, atau Alquran membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Alquran. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Alquran tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Alquran atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Alquran.
B.   HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
          Hadits’ disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad dan 5 kali dalam bentuk jama’(Baqi, 1992: 247-248). Kata ‘hadits’ dalam al Quran maupun kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti: (a) komunikasi religius, pesan atau al-Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al Zumar ayat 23.(b)cerita duniawi atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang tercantum dalam surat al An’am ayat 68. (c) cerita sejarah, sebagaimana yang tercantum dalam surat Taha ayat 9. (d) rahasia, percakapan atau cerita yang masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3 (Azami, 1977: 1-2). Dari keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya terangkum dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadits secara literal mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication (berita atau kabar), historical information (informasi
sejarah), baik bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan dengan peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi (Goldziher, 1971).
Secara terminology, hadits mempunyai makna segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan sertasifat-sifat fisik dan suri tauladan Nabi (Sabbaq, 1972: 14-17). Dalam pengertianyang semacam ini, hadits disinonimkan dengan istilah sunnah. Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadits dapat dibedakan menjadi (a) sabda, (b) perbuatan, (c) taqrir, (d) hal ihwal Nabi, yaitu segala sifat dan keadaan beliau (al Siba’i, 1994: 53). Menurut Nuruddin ‘Itr, definisi tersebut masih dirasa kurang sempurna, karena dalam kitab-kitab hadits banyak dijumpai perkataan-perkataan yang tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in. Sehingga pengertian hadits secara terminology, yang ideal adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik, dan juga segala sesuatu yang yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in (‘Itr, 1992: 9).[1]
          Sunnah bisa berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah), kebiasaan atau ketentuan. Sunnah dalam pengertian ini bisa mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah) maupun sunnah yang buruk (sunnah qabihah).Dalam pengertian ini al-Qur’an menyebutnya dengan Sunnah al-Awwaliin, yakni sunnah yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada orang-orang terdahulu (Al-Anfal:38). Istilah sunnah juga terdapat dalam teks hadits, yang mencakup pengertian sunnah yang baik dan sunnah yang buruk, sebagaimana hadits riwayat Muslim yang mengatakan:
          Barangsiapa di dalam Islam memperkenalkan perilaku atau kebiasaan baik (sunnah hasanah), ia akan memperoleh pahala atas perilaku tersebut dan pahala orang-orang yang ikut melakukannya di kemudian hari. Sebaliknya siapa yang memperkenalkan perilaku yang buruk (sunnah sayyi’ah), ia akan memperoleh dosa perilaku tersebut dan dosa orang-orang yang melakukannya di kemudian hari tanpa ada sesuatu yang mengurangi dosa mereka.”
          Menurut Fazrur Rahman, perilaku generasi setelah Nabi adalah personifikasi dari perilaku Rasulullah SAW yang dihidupkan secara turun temurun. As-sunnah sebagai tradisi yang hidup, yang bermula dari perilaku Muhammad SAW, diikuti para sahabatnya, diikuti oleh pengikut sahabat, demikian seterusnya sehingga perilaku itu menjadi melembaga dan mendarah daging. Apabila proses internalisasi telah terjadi, institusionalisasi perilaku akan membuahkan kesepakatan sosio-kultural. Secara sosiologis, adanya kesesuaian antara sistem nilai, sistem sosial dan sistem budaya sehingga membentuk kolektifitas tingkah laku.
          Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shidieqie, sunnah adalah pengejawantahan perilaku menurut contoh Rasulullah SAW yang merujuk pada hadits. (perbuatan yang terus menerus dilakukan sehingga menjadi semacam tradisi ).Masyarakat Arab pra Islam menggunakan kata sunnah untuk menyebut praktik kuno dan berlaku terus menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku Arab pra-Islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari identitas dan kebanggaan mereka. Perbuatan Rasulullah SAW, merupakan perbuatan yang dibimbing oleh wahyu sehingga merupakan keteladanan, bahkan disebut sebagai uswah hasanah . Manakala perbuatan tersebut ditiru oleh para sahabat, para sahabat ditiru oleh para tabi’in, para tabi’in ditiru oleh para pengikutnya, dan seterusnya hingga umat Muhammad SAW sekarang ini, keteladanan tersebut menjadi tradisi normatif yang membentuk menjadi sistem sosial, maka hal itulah yang paling fundamental dalam memaknakan sunnah sebagai keteladanan yang berawal dari perilaku Rasulullah SAW.Sedangkan hadits secara harfiah berarti baru, cerita, kisah, perkataan atau peristiwa. Istilah ini mempunyai definisi yang baku. Menurut para ahli hadits, kata ini menunjuk pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan, perbuatan, taqrir (sesuatu yang dibiarkan, dipersilakan dan disetujui secara diam-diam), sifat-sifat dan perilaku yang terjadi sebelum ia menjadi Nabi atau sesudahnya. Sementara menurut para ahli ushul fiqh, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang dapat menjadi hukum syara’.[2]   
          Berdasarkan petunjuk Alquran, Sunnah Nabi saw. adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran. Itu berarti, untuk mengetahui ajaran Islam yang benar, selain diperlukan petunjuk Alquran, juga diperlukan petunjuk Sunnah Nabi saw.Sebagian ulama memberi istilah untuk Hadis Nabi saw dengan wahyu al-gair al-matlu, sebagai imbangan terhadap istilah untuk Alquran yang disebutnya dengan wahyu al-matlu. Pendapat itu memang mengundang masalah, sebab dengan menyatakan bahwa seluruh Hadis Nabi sebagai wahyu, maka berarti semua jenis Hadis atau apa saja yang disandarkan kepada Nabi, sebagaimana pengertian sunnah menurut ulama Hadis, adalah wahyu. Jika demikian, apakah tertawa dan warna rambut Nabi adalah wahyu juga? Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa ulama usul fiqh memberi batasan yang disebut sunnah Nabi adalah segala pernyataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang berkaitan dengan hokum (syara). Apabila pengertian istilah tersebut dihadapkan dengan pernyataan bahwa sunnah Nabi adalah wahyu gair al-matlu, maka apakah ijtihad Nabi yang dikoreksi oleh Alquran termasuk juga wahyu?
          Terlepas dari tepat atau tidak tepatnya pernyataan bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu gair al-matlu, maka yang pasti bahwa Allah swt telah memberi kedudukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah yang berfungsi atau tugas antara lain untuk (1) menjelaskan Alquran, (2) dipatuhi oleh orang-orang yang beriman; (3) menjadi uswah hasanahdan rahmat bagi sekalian alam. Dalam pada itu, beliau adalah juga manusia biasa, seorang suami, ayah, anggota keluarga, teman, pengajar, pendidik, mubalig, dan seorang kepala negara. Selain itu, ada pula hal-hal khusus yang oleh Allah swt hanya diperuntukkan bagi Nabi sendiri dan tidak untuk umatnya, misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri.[3]

C. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADIS
          Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
          Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.
Asy-Syafi’i berkata :
          Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”(HR. Malik).
          Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
1) Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)
          Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.
2) Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
          Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.[4]
          Ada beberapa dalil yang menunjukkan aatas kehujjahan sunnah dijadikan sumber hokum islam yaitu sebagai berikut:

a.            Dalil al-Qur’an.
          Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk patuh kepada Rasul dan mengikuti Sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintahmengikuti Sunnah sebagai hujjah, antara lain:
1) Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana.
firman Allah s.w.t. surat Ali-Imran (3:179) :
ÇÊÐÒÈ ÒÏàtã íô_r& öNä3n=sù (#qà)­Gs?ur (#qãYÏB÷sè? bÎ)ur 4 ¾Ï&Î#ßâur «!$Î/ (#qãYÏB$t«sù….
          Artinya :
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepadaumatnya baik al-Qur’an maupun Hadits yang dibawanya.
2) Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allahs.w.t., sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepadaAllahdan
Rasul-Nya dan kepada kitab yangAllah diturunkan kepada Rasul-Nya, sertakitab yang Allah turunkan sebelumnya”.
3) Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintahAllah s.w.t.
sebagaimana firman Allah s.w.t. :
          Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah”.
4) Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana firman Alla>hs.w.t.
          Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
          Dari beberapa ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwasannya perintah untuktaat kepada Allah dan mengikuti Rasul s.a.w., itu sangat penting sebagai wujuddari iman kita kepada Allah s.w.t. ini menunjukkan bahwasannya kedudukanSunnah mempunyai posisi yang penting sebagai dasar hukum atau hujjah dalamIslam.
b. Dalil Hadits.
          Hadits yang dijadikan dalil kehujjahan Sunnah juga banyak sekali, diantaranyasebagaimana sabda Nabi s.a.w.
          Artinya :
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selamaberpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Alla>h dan Sunnahku”. (HRal-H{akim dan Malik)
          Dari hadits diatas sudah jelas bahwasannya manusia yang berpegang teguhkepada kitab al-Qur’an dan Sunnah Nabi maka ia tidak akan pernah tersesatkejalan yang dimurkai Allah s.w.t.
c. Dalil Aqli
          Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah memiliki kedudukan keduasetelah al-Quran . Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuahpemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1. Al-Quran memiliki sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhannial-wurud. 12 Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2. As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Quran. Ini harus dipahamibahwa yang menjelaskan (as-sunnah) berkedudukan setingkat di bawahyang dijelaskan (al-Quran).
3. Adanya beberapa hadis dan atsar yang memberikan keterangan tentangurutan dan kedudukan as-sunnah setelah al-Quran. Hal ini bisa di lihat daridialog antara Nabi dengan Muaz bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeriYaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatuperkara?”. Muaz menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanyanashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuandalam sunnah maka dengan berijtihad.
4. Al-Quran berasal dari Allah sedang sunnah atau hadis berasal dari hambadan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itulebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.[5]


d. Ijma’ Para Ulama
          Para ulama telah sepakat (konsensua) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dalam hukum Islam setelah al-Quran. Asy-SyafiI (w. 204 H) mengatakan: Aku tidak mendengan seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah swt., untuk mengikuti Rasul saw., dan berserah diri atas keputusannya.Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain duadasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah menfardukan kita, orang-orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul saw. Tidak ada seorang punyang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah saw. (Muhammad bin Idris Asy-Syafii, 1983: 250).
          Demikian juga ulama lain, seperti as-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa orang yang mengingkari Kehujahan hadis Nabi baik perkataan dan perbuatannya yand memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam ilmu ushul adalah kapir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nashrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang-orang kafir (Jalaludin As-Sayuthi, 1998: 140). Asy-Syaukani (w. 1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hokum Islam seperti al-Quran dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam (Muhammad bin Ali As-Syaukani, 160-161. Dan As-Suyuti, Miftah al-Jannah, h. 140). Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah al-Quran. Fuqaha sahabat selalu bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan al-Quran dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam al-Quran.
          Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami bahwa:
a. Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekolompok minoritas orang.
b. Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap al-Quran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hokum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Quran.
c. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qathi (pasti), baik dari ayat-ayat al-Quran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
d. Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.[6]

D . FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN

Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`an yang paling pokok adalahsebagai bayân, sebagaimanaditandaskan dalam ayat:
“ k e t e r a n g a n - k e t e r a n g a n(mu`jizat) dan kitab-kitab. DanKami turunkan kepadamu AlQur’an, agar kamu menerangkankepada umat manusia apayang telah diturunkan kepadamereka dan supaya mereka
memikirkan,. (Qs.16:44)”.
Ayat tersebut menunjukkanbahwa Rasul SAW bertugas memberikanpenjelasan tentang kitabAllah. Penjelasan Rasul itulahyang dikategorikan kepada alhadîts.Umat manusia tidak akanbisa memahami al-Qur`ân tanpamelalui al-hadîts tersebut. Al-Qur`ân bersifat kullydan ‘am, makayang juz’iy dan rinci adalah alhadîts.Imam Ahmad menandaskanbahwa seseorang tidak mungkinbisa memahami al-Qur`ân secarakeseluruhan tanpa melalui al-hadîts.Imam Al-Syatibi jugaberpendapatbahwa kita tidak akan bisamengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân
tanpa melalui al-hadîts. Dengandemikian jelaslah fungsi al-hadîtsterhadap al-Qur`ân itu cukuppenting, yaitu sebagai bayân ataupenjelas.Dalam konteks ini penulis akanmemberikan contoh serta gambarantentang bagaimana al-hadîts menjelaskanisi al-Qur`ân:
1. Al-Qur`ân telah menghalalkanmakanan yang baik-baik (Qs.5:1),dan megharamkan yang kotorkotor(Qs.7:156); tetapi di antarakeduanya (di antara yang baikbaikdan yang kotor-kotor) itu adaterdapat beberapa hal yang tidakjelas atau syuhbat, yang samarsamar(tidak nyata baik dan tidaknyata buruknya). Ukuran baik danburuk pun menurut pandanganmanusia akan berbeda. Olehsebab itu, Rasul SAW yangmenetapkan mana yang baik danmana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya. Beliaumengharamkan segala hewanhewan(binatang-binatang) buas, yang mempunyai taring, danburung-burung yang mempunyaikuku yang mencakar dan yangmenyambar, demikian juga beliaumengharamkan keledai jinak(bukan keledai hutan), karenasemua itu termasuk binatangyang kotor-kotor dan yang kejikeji.

2. Al-Qur`ân telah menghalalkansegala minuman yang tidak memabukan,danmengharamkan segala minumanyang memabukkan. Diantara yang tidak memabukkandan yang memabukkan adabeberapa macam minuman,yang sebenarnya tidakmemabukkan, tetapi dikuatirkankalau-kalau memabukkanjuga, seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuakyang ditaruh dalam bejana yangdicat dengan ter dari dalamnya(al- Muzaffat), juga yang ditaruhdi dalam batang kayu yang1Perhatikan hadits-hadits, fiy ma layu`kal minal-hayawan, at-Taj, (Maktabahal-Husna, Beirut: 1998), 95-96.dilobangi (al- Naqir), dan yangserupa dengan minuman yangmemabukkan dan membawa kebinasaan. Kemudian Rasulullah SAW kembalimenghalalkan segala sesuatuyang tidak memabukkan.[7]

          Fungsi hadist terhadap al-Qur’an secara umum adalah menjelaskanmakna kandungan al Al-Qur’an atau lil bayan (menjelaskan). Hanya sajapenjelasan tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk penjelasan.
          Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadist terhadap
al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir
          Bayan at Taqrir disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan alitsbat,yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuatapa yang telah diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi hadits dalam hal inihanya memperkokoh isi kandungan al Qur’an.Sehingga dalam hal ini,hadist hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Qur’an.Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan IbnuUmar, sebagai berikut:
          “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabilamelihat (ru’yah) itu maka berbukalah”.(H.R Muslim)
          Hadist ini men-taqrir Q.S al Baqarah (2): 185:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulanitu, maka hendaknya ia berpuasa pada bulan itu.”
Contoh lain, hadits riwayat al Bukhari dari Abu Hurairah:
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang yangberhadas sebelum berwudhu”. (H.R al Bukhari)

2. Bayan At-Tafsir
          Bayan al Tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untukmemberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masihbersifat global(mujmal), memberikan persyaratan/batasan(taqyid) ayat-ayatal Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap alQur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat alQur’an yang masih mujmal, baik adalah perintah mengerjakan shalat, puasa,zakat, disyariatkan jual beli, nikah, qhisas, hudud, dan sebagainya. Ayatayatal Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenaicara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halanganhalangannya.Oleh karena itu, Rasulullah Saw, melalui hadistnyamenafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadist-hadistberikut:
          “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.” (H.R al-Bukhari).[8]

          Mengenai pengertian Al-Qur'an ini cukup banyakdan berbedabedadalam pengungkapannya. Ada yang menambahnya dengan
keterangan membacanya menjadi ibadah, dan ada pula yangmenambahnya dengan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi Sawsecara mutawatir. Sebagian ulama ada yang menambahnya dengankata-kata yang mengandung mu 'jizat. Tetapi, pada prinsipnya terdapatpersamaan mengenai pengertian AJ-Qur'an, yaitu KalamuJlah yangditurunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian tersebut, sejalan.dengan apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya, AIQur'anadalah firman Tuhan (AJJah SWT) ( 1994:32).[9]

          Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama Nabi Muhammad adalahuntuk menjelaskan isi kandungan al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayatayathukum dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum bisa dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasa hadis dapatdibutuhkan. Dengan demimian fungsi hadis yang utama adalah untukmenjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan penjelasann al-al-Qur'an :
          Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad)melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang merekaperselisihkanBila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnahdisebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalamhubungannya dengan al-Qur'a,n maka hadis menjalankan fungsi sebagai
berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalamal-Qur'an yang dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'andalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, arenadapat saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum padawaktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yangterdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka menjelaskan apa yangdimaksud shalat pada ayat tersebut.
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besarmisalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-Qur'an .
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum,misalnya hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'anmisalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanitayang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapijuga saudara ibunya.[10]
















KESIMPULAN

               Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi hadis terhadap Al-Qur’an selaku sumber hukum kedua adalah sebagai bayan terhadap Al-qur’an untuk menjelaskan ayat-ayatyang terdapat dalam Al-qur’an dan memperjelas  hukum isi kandungan ayat tersebut dan bisa juga untuk membuat hukum baru terhadap al-qur’an. Daan juga berfungsi untuk menguatkan ayat Alqur’an sebagai sumber ajaran islam ssetelah Al-qur’an









































DAFTAR PUSTAKA
Edi, Relit Nur, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35
Fikri, Hamdani Khairul, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–81
Hairillah, H., ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol. XIV, (2015), 193–94
Himmawan, Muhamad Ali dan Didik, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29
L., Sulaemang, ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir, Vol. 8, No (2015), 296–197
Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume 15, (2014), 18
Setiyanto, Danu Aris, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN’, 3–4
SODIKIN, R. ABUY, ‘MEMAHAMI SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2
Sulidar, ‘URGENSI KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36
Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14 (2010), 336



[1]Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Volume 15, (2014), 18.
[2]H. Hairillah, ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Vol. XIV, (2015), 193–94.
[3]Sulidar, ‘URGENSI KEDUDUKAN HADIS TERHADAP ALQURAN DAN KEHUJJAHANNYA DALAM AJARAN ISLAM’, Analytica Islamica, Vol. 2, No (2013), 335–36.
[4]Muhamad Ali dan Didik Himmawan, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, Vol. 5, No (2019), 128–29.
[5]Relit Nur Edi, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35.
[6]Sulaemang L., ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir, Vol. 8, No (2015), 296–197.
[7]Hamdani Khairul Fikri, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–81.
[8]Danu Aris Setiyanto, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN’, 3–4.
[9]R. ABUY SODIKIN, ‘MEMAHAMI SUMBER AJARAN ISLAM’, AL QALAM, Vol. 20 No (2003), 2.
[10]Tasbih, ‘KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’, AL-FIKR, Volume 14 (2010), 336.